Collected by: Ust. Sujarwadi
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Agama Islam adalah agama “rahmatan
lil ‘alamin”, artinya Islam dan ajaran yang terkandung di dalamnya membawa
keselamatan dan rahmat bagi seluruh alam, tanpa dibatasi oleh tempat dan kurun
waktu tertentu. Ajaran Islam yang memang sangat sesuai dengan fitrah manusia tidak
hanya mengajarkan ritual ibadah, aqidah akan tetapi juga meliputi seluruh aspek
kehidupan manusia, baik dari segi ekonomi, politik, sosial, mu’amalah, akhlak
dan aspek yang lainnya.
Salah satu fenomena yang telah
menjamur pada masyarakat terutama para remaja dan muda-mudi pada saat ini
adalah “berpacaran” bahkan sudah seperti jamur di musim hujan, menjadi ajang
idola oleh kaula muda, mereka menganggap hampanya kehidupan tanpa melakukan hal
tersebut, karena melakukannya adalah pintu menuju cinta. Apalagi cinta yang
dimaksud adalah cinta pada lawan jenis, sang pujaan hati atau sang kekasih.
Sebagaimana yang dikatakan orang-orang: “kalau seseorang sudah jatuh cinta empedupun
serasa gula”. Ketika seseorang beranjak dewasa, muncullah benih di dalam jiwa
untuk mencintai lawan jenisnya. Ini merupakan fitrah (insting) yang
diberikan oleh Allah kepada manusia. Cinta terhadap lawan jenis atau cinta
kepada wanita memang fitrah dan naluri setiap insan, hal ini dapat dilihat
dalam al-Qur’an surat
Ali Imran ayat 14 dimana Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
Artinya: Dijadikan indah pada (pandangan) manusia
kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta
yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan
sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat
kembali yang baik (surga).
Dalam ayat ini Allah Subhanahu Wa
Ta’ala memberikan semua yang dijadikan perhiasan bagi manusia dalam
kehidupan di dunia ini, berupa kesenangan dan kecintaan terutama kepada wanita,
karena fitnah yang ditimbulkan oleh mereka sangat kuat bagi kaum lelaki. Lain
halnya jika seorang laki-laki
yang bertujuan untuk memelihara kehormatan wanita dan memperbanyak keturunan,
maka hal ini merupakan suatu hal yang dianjurkan dan disunatkan, seperti yang
disebutkan oleh banyak hadits yang menganjurkan untuk menikah. [1]
Akan tetapi kenyataannya sekarang
banyak orang yang salah dalam memahami hakikat cinta itu sendiri, sebagian
mereka beranggapan orang yang tidak pernah berpacaran akan menjadi orang yang
keras hati dan tidak memiliki kemuliaan. Dengan anggapan yang demikian maka dapat
melihat betapa banyak orang yang dimabuk cinta telah menurunkan derajatnya
sendiri sehingga tidak lagi disegani oleh masyarakat, begitu juga dengan budaya
berpacaran yang banyak menyingkap aib seseorang yang mendatangkan ketakutan,
meninggalkan kepedihan yang berganti menjadi penyesalan, betapa banyak budaya
ini memberikan mudarat kepada para pelakunya seperti: menjadi budak nafsu
syahwat dan iblis, hamil diluar nikah sehingga seorang gadis harus menanggung
semua derita serta harus menerima segala caci-maki dari masyarakat dan keluarga
karena telah rusak kegadisannya dan mengandung janin hasil hubungannya dengan
seorang lelaki dan lihatlah seorang laki-laki yang yang tergeletak dalam pusara
karena bunuh diri disebabkan cintanya tidak dibalas oleh sang pacar, kemudian
hilangnya rasa malu terhadap lingkungan sosial.
Tatkala adab-adab bergaul antara
lawan jenis mulai pudar, luapan cinta yang bergolak dalam hati manusia pun
menjadi tidak terkontrol lagi. Akhirnya, setan berhasil menjerat para remaja dalam
ikatan maut yang dikenal dengan “berpacaran“. Allah telah
mengharamkan berbagai aktifitas yang dapat mengantarkan ke dalam perzinaan.
Sebagaimana Allah berfirman :
Artinya:
“Dan
janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan
yang keji, dan suatu jalan yang buruk”. (QS. al-Isra’: 32).
Maka pintu yang paling lebar dan
paling dekat dengan ruang perzinaan salah satunya adalah melalui berpacaran. Kalau
sekiranya diibaratkan zina adalah sebuah ruangan yang memiliki banyak pintu
yang berlapis-lapis, maka orang yang berpacaran adalah orang yang telah
memiliki semua kuncinya. Kapan saja ia bisa masuk. Bukankah saat berpacaran ia
tidak lepas dari zina mata dengan bebas memandang? Bukankah dengan berpacaran
ia sering melembut-lembutkan suara di hadapan pacarnya? Bukankah orang yang
berpacaran senantiasa memikirkan dan membayangkan keadaan pacarnya? Maka
farjinya pun akan segera mengikutinya. Akhirnya penyesalan tinggallah
penyesalan. Waktu tidaklah bisa dirayu untuk bisa kembali sehingga dirinya
menjadi sosok yang masih suci dan belum ternodai. Setan pun bergembira atas
keberhasilan usahanya
Hal ini dapat dilihat kenyataannya di
lapangan, seperti: berdua-duaan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram,
yang diawali dengan perjumpaan, kemudian berkenalan, lalu saling senyum dan
saling pandang-memandang serta saling berbicara, dan akhirnya berlanjut dengan
kata-kata janji sampai kepada pembuktian cinta dengan melakukan hubungan intim.
Padahal dalam haditsnya Rasulullah telah bersabda :
عن عبد لله
بن عامر بن ابي ربيعة عن ابيه، قا ل رسول الله صلى الله عليه وسلم: من مات وليست
عليه طاعة مات ميتة جاهلية، فإن خلعها من بعد عقد ها في عنقه لقي الله تبارك وتعلى
وليست عليه حجه ألا لا يخلون رجل بإمراة لا تحل له فإن ثا لثهما الشيطان إلا محرم
فإن الشيطان مع الواحد وهو من الإثنين أبعد {رواه احمد}
[2]
Dari Abdullah bin Amir bin Abi Rabi’ah dari ayahnya dia berkata:
Rasulullah SAW bersabda: Siapa saja yang meninggal dalam keadaan tidak ta’at
dia meninggal seperti meninggalnya orang jahiliyah. Maka jika ia mencabut ketaatannya
setelah ia berjanji, ia menemui Allah dalam keadaan tidak punya bantahan
terhadap Allah. Ketahuilah sekali-kali janganlah berdua-duaan seorang laki-laki
dengan seorang perempuan yang tidak halal baginya maka sesungguhnya yang
ketiganya adalah syetan, maka sesungguhnya syetan selalu bersama seseorang
sehingga dia menjadi bagian dari dua orang, maka jauhilah syetan itu. ( H.R.
Ahmad )
Akibat kenikmatan yang semu itulah maka tidak
dapat dibedakan lagi mana cinta yang diperbolehkan dan mana yang terlarang,
sehingga ada diatara generasi muda muslim terjerumus ke dalam dosa dan maksiat
yang akan mengantarkan mereka kepada kehancuran dan kerusakan. Begitu parahnya
kerusakan yang ditimbulkan oleh tradisi berpacaran yang dilakukan oleh para pemuda,
maka dalam al-Qur’an diterangkan secara jelas cara menutup pintu yang dapat
mengantarkan seseorang pada budaya tersebut yang berawal dari tidak
terkontrolnya pandangan mata. Allah SWT berfirman dalam surat An-Nuur ayat 30-31 berikut :
Artinya: Katakanlah
kepada para lelaki yang beriman; Hendaklah mereka menahan pandangannya dan
memelihara kemaluannya, karena yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat. Dan katakanlah kepada para wanita yang beriman:
Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan
janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang biasa tanpak dari
padanya.
Ahmad Musthafa al-Maraghi[3]
dalam kitab tafsirnya memberikan penjelasan bahwa surat an-Nuur ayat 30 di atas memberikan
pesan sebagai berikut:
Artinya :”katakanlah kepada
para laki-laki yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya”.
Ini adalah
perintah Allah kepada Rasul supaya mengatakan kepada para laki-laki yang
beriman: Tahanlah pandangan kalian dari melihat apa yang diharamkan Allah
kepada kalian untuk melihatnya, dan janganlah kalian melihat selain apa yang
diperbolehkan bagi kalian melihatnya. Jika secara tidak
sengaja melihatnya, maka palingkanlah wajah kalian dengan segera.
Sabda Nabi SAW:
عن جريربن عبد الله قا ل: سأ لت رسول
الله صلى الله عليه وسلم عن نظرالفجاءة فقا ل: اصرف بصر ك (رواه احمد و مسلم و ابو
داود و الترمذى)
Dari Jarir bin ‘Abdullah dia berkata:“Aku bertanya kepada Rasulullah
saw, tentang pandangan yang tiba-tiba, maka Rasulullah menyuruhku untuk memalingkan
pandanganku”. (H.R. Ahmad, Muslim, Abu Daud dan at-Turmuzi)
Hikmah yang
dapat diambil dari menahan pandangan yaitu
dapat menutup pintu kejahatan dan mencegah terjadinya perbuatan dosa.
Artinya : dan hendaklah mereka
memelihara kemaluannya
Mereka
memelihara kemaluannya dengan mencegahnya dari perbuatan keji, atau
memeliharanya dari terlihat oleh seseorang.
Artinya: Dan
demikianlah pemimpin-pemimpin mereka telah menjadikan kebanyakan dari
orang-orang musyrik itu memandang baik membunuh anak-anak mereka untuk
membinasakan mereka dan untuk mengaburkan bagi agama mereka. Dan kalau Allah
menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, maka tinggallah mereka dan
apa yang mereka ada-adakan.
Ç Dan bisa
jadi yang memperindah keburukan itu adalah syetan, sebagaimana firman Allah
dalam surat al-Anfal: 48
Artinya: Dan ketika syaitan menjadikan mereka memandang
baik pekerjaan mereka dan mengatakan: "Tidak ada seorang manusiapun yang
dapat menang terhadapmu pada hari ini, dan sesungguhnya saya ini adalah
pelindungmu". Maka tatkala kedua pasukan itu telah dapat saling lihat
melihat (berhadapan), syaitan itu balik ke belakang seraya berkata:
"Sesungguhnya saya berlepas diri daripada kamu, sesungguhnya saya dapat
melihat apa yang kamu sekalian tidak dapat melihat; sesungguhnya saya takut
kepada Allah", dan Allah sangat keras siksa-Nya.
Yang
memperindah terhadap hal-hal di atas adalah Allah, karena itu semua adalah
fitrah dari-Nya, yakni bawaan manusia sejak kelahirannya bahwa ia mencintai
lawan seknya serta harta benda yang beraneka ragam. Naluri inilah yang
merupakan pendorong utama bagi segala aktifitas manusia yang mencakup dua hal
pokok yaitu memelihara diri dan memelihara jenis, dari keduanya lahir beraneka
dorongan seperti, memenuhi kebutuhan sandang, pangan serta papan dan lain-lain.
Sedang dorongan seksual berkaitan dengan upaya manusia memelihara jenisnya,
itulah sebagian fitrah yang dihiaskan Allah kepada manusia yang dinamakan
dengan “hubbusy-syahawat”, dalam surat Ali Imran ayat 14 di atas.
Lebih
lanjut Quraish Shihab mengatakan, kalau syahwat di atas sebagaimana digariskan
Allah sesuai dengan tujuannya yaitu memperindah, maka itu adalah baik, yang
mencintai lawan jenisnya, bahkan melakukan hubungan seks demi memelihara diri
dan keturunan tidaklah berdosa justru mendapatkan pahala dari Allah Ta’ala,
sebagaimana Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
عَنْ أَبِي ذَرٍّ قَالَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ… وَفِي بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ
قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيَأتِي أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ وَيَكُونُ لَهُ فِيهَا
أَجْرٌ قَالَ أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِي حَرَامٍ أَكَانَ عَلَيْهِ فِيهَا وِزْرٌ
فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِي الْحَلَالِ كَانَ لَهُ أَجْرًا {رواه مسلم}[44]
Dari Abi Dzar, Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
...dan di dalam sperma kamu itu terdapat ganjaran. Para sahabat lalu bertanya:
”Ya Rasulullah, apakah bila salah seorang dari kami melepaskan syahwatnya juga
mendapat ganjaran?, Rasulullah berkata: ”Bagaimana pendapatmu sekiranya
seseorang menempatkan maninya di tempat yang haram, apakah ia berdosa? Mereka
menjawab ya berdosa, Rasulullah berkata:
”Begitu juga kalau dia menempatkannya di tempat yang halal tentu ia akan
mendapatkan ganjaran. (HR.Muslim)
Jika yang
memperindahnya adalah syetan maka syahwat-syahwat tersebut menjadi tujuan untuk
dunia belaka bukan untuk di akhirat kelak, begitu juga jika seks diperindah
oleh syetan maka ia dia jadikan tujuan, cara dan dengan siapapun tidak lagi
diindahkan yang penting dilampiaskan walaupun dengan cara kotor sekalipun.[45]
Sedangkan
dalam tafsir Ibnu Katsir dikatakan: dalam ayat ini Allah memulai dengan sebutan
wanita karena fitnah yang ditimbulkan mereka, karena fitnah yang ditimbulkan
oleh wanita sangat kuat, sebagaimana sabda Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi wa
Sallam
مَا تَرَكْتُ بَعْدِي فِتْنَةً
أَضَرَّ عَلَى الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ
“Tidak pernah aku tinggalkan fitnah yang lebih berbahaya
terhadap kaum pria daripada fitnah para wanita.”[46]
- Surat al-Isra’ ayat 32
Artinya: “Dan janganlah kamu mendekati
zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji, dan suatu jalan
yang buruk”.
Dalam kitab tafsirnya Quraish Shihab[47]
menyatakan, ayat ini menegaskan bahwa; dan janganlah kamu mendekati zina dengan
melakukan hal-hal walau dalam bentuk menghayalkannya sehingga dapat mengantar
kamu terjerumus ke dalam keburukan itu, sesungguhnya zina itu adalah sesuatu
perbuatan amat keji yang melampaui batas dalam ukuran apapun dan suatu jalan yang
buruk dalam menyalurkan kebutuhan biologis.
Dalam pengamatan sejumlah ulama
al-Qur’an ayat-ayat yang menggunakan kata-kata ”jangan mendekati” seperti ayat di atas, biasanya merupakan
larangan mendekati sesuatu yang dapat merangsang jiwa atau nafsu untuk
melakukannya. Dengan demikian larangan mendekati mengandung makna
larangan untuk tidak terjerumus dalam rayuan sesuatu yang berpotensi mengantar
kepada langkah melakukannya.
Dalam
tafsir Ibnu Katsir dikatakan: Allah Ta’ala berfirman guna melarang hamba-hamba-Nya
dari perbuatan zina, mendekatinya dan berinteraksi dengan hal-hal yang dapat
menimbulkan atau menyeret kepada perzinaan. ”Dan janganlah kamu dekati
perzinaan, sesungguhnya perzinaan itu merupakan perbuatan keji yakni dosa besar
dan suatu jalan yang buruk”[48].
Menurut
Hamka[49] dalam kitab tafsirnya,
mengenai ayat ini ” jangan dekati zina” artinya segala sikap dan tingkah laku
yang dapat membawa kepada zina janganlah dilakukan, hendaklah dijauhi karena
pada laki-laki ada syahwat setubuh begitu juga pada perempuan. Apabila seorang
laki-laki dan seorang perempuan telah berdekatan maka akan susah mengelakkan
tumbuhnya gelora syahwat itu. Sebagaimana yang telah dikatakan oleh Nabi ”
kalau seorang laki-laki dan seorang perempuan telah berkhalwat berdua-duaan
maka yang ketiganya adalah syetan”. Kalau seorang laki-laki dan seorang wanita
telah berkhalwat maka akal budinya tidak berbicara lagi, yang bicara adalah
syahwat, nafsu atau seks, dan apabila nafsunya itu telah terpenuhi mungkin akal
akan berbicara dan menyesal atas apa yang telah diperbuatnya.
Lebih
lanjut Hamka mengatakan; termasuk juga hal-hal yang mendekati zina disini
adalah film-film, gambar-gambar, dan majalah-majalah porno, nyayian-nyayian
yang berisikan ajakan yang tidak baik, dansa-dansa serta peluk-pelukan dan
termasuk juga larangan bepergian jauh (musafir) tidak ditemani suami atau
mahramnya.
Sedangkan
menurut Yusuf Qaradhawi[50]: Tidak mengherankan kalau
seluruh agama Samawi mengharamkan dan memberantas perzinaan. Terakhir ialah
agama Islam yang dengan keras melarang perzinaan serta memberikan ultimatum
dengan sangat tajam. Karena perzinaan dapat mengaburkan dan merusak keturunan,
menghancurkan rumah tangga, meretakkan hubungan, meluasnya penyakit kelamin,
kejahatan nafsu dan merosotnya akhlak, oleh karena itu tepatlah apa yang
dikatakan Allah dalam firman-Nya ” jangan kamu dekati zina”.
Islam
sebagaimana kita maklumi, apabila mengharamkan sesuatu, maka ditutuplah
jalan-jalan yang akan membawa kepada perbuatan haram itu, juga mengharamkan cara
apa saja dan seluruh pendahuluannya, yang mungkin dapat membawa kepada
perbuatan haram itu. Apa saja yang dapat membangkitkan nafsu birahi dan membuka
pintu fitnah baik oleh laki-laki atau perempuan, serta mendorong orang untuk
berbuat keji itu, atau yang memberikan
jalan-jalan untuk berbuat yang keji, maka Islam melarangnya demi untuk menutup
jalan berbuat haram dan menjaga dari perbuatan yang merusak.
Di
antara jalan-jalan yang diharamkan Islam, ialah menyepi dengan seorang
perempuan yang bukan mahramnya. Ini bukan berarti menghilangkan kepercayaan
kedua belah pihak atau salah satunya, tetapi demi menjaga kedua insan tersebut
dari perasaan-perasaan yang tidak baik, yang biasa bergelora di dalam hati
ketika bertemunya dua jenis itu.
3.
Surat an-Nuur:
30 dan 31
Artinya: Katakanlah
kepada para lelaki yang beriman; Hendaklah mereka menahan pandangannya dan
memelihara kemaluannya, karena yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat. Dan katakanlah kepada para wanita yang beriman:
Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan
janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang biasa tampak daripadanya.
Dalam tafsir al-Misbah dijelaskan[51];
pada ayat sebelumnya diberikan tuntunan menyangkut kunjungan ke rumah-rumah
yang intinya melarang melihat apa-apa yang dirahasiakan atau enggan ditunjukkan
oleh penghuni rumah, kini dilanjutkan dengan perintah memelihara pandangan dan
kemaluan. Larangan ini sejalan dengan izin memasuki tempat-tempat umum karena
di tempat-tempat umum itu boleh jadi mata seseorang itu menjadi liar dan
dorongan seksualnya menjadi-jadi.
Apapun
hubungannya, yang jelas ayat ini memerintahkan supaya Nabi Muhammad Sallallahu
‘Alaihi wa Sallam, memerintahkan kepada laki-laki yang mukmin hendaklah
mereka menahan sebagian pandangan mereka yakni tidak membukanya lebar-lebar
untuk melihat segala sesuatu yang terlarang seperti aurat wanita.
Ayat ini menggunakan kata ”al-Mu’minun” yang
mengandung makna kemantapan iman yang bersangkutan, hal ini menurut al-Baqi’
mengisyaratkan sulitnya menghindarkan mata dari tempat umum, dan bahwa ini
hanya dapat dilaksanakan secara baik oleh mereka yang telah mantap iman dalam qalbu
nya.
Kata يغضوا terambil
dari kata غض yang berarti menundukkan atau mengurangi,
yang dimaksud di sini adalah mengalihkan arah pandangan, serta tidak
memantapkan pandangan dalam waktu yang lama kepada sesuatu yang terlarang atau
yang kurang baik.
Pada ayat 31 dikatakan; Setelah ayat yang lalu
memerintahkan kepada nabi Muhammad Sallallahu ‘Alaihi wa Sallam agar
memerintahkan kepada laki-laki mukmin, kini perintah serupa ditujukan untuk
disampaikan kepada wanita-wanita mukminah hendaklah mereka menahan pandangan
mereka dan memelihara kemaluannya, dan di samping itu wanita juga dilarang
menampakkan perhiasan yakni, bagian tubuh mereka yang dapat merangsang lelaki,
kecuali yang biasa tampak darinya yaitu wajah dan telapak tangan.
Menurut Hamka dalam kitab tafsirnya, mengenai ayat di
atas ia menyatakan; kepada laki-laki yang beriman diingatkan agar matanya
jangan liar bila melihat wanita cantik atau memandang bentuk badannya yang
menggiurkan syahwat dan hendaklah dia juga memelihara kemaluannya ataupun
memelihara kelaki-lakiannya supaya jangan diboroskan. Pandangan mata yang tidak
terkendali dapat menimbulkan syahwat, apabila syahwat menguasai diri sehingga
tidak terkendali lagi maka kelamin menghendaki kepuasannya. Begitu juga dengan
perempuan, selain menjaga penglihatan mata dan memelihara kemaluan, ditambahkan
lagi larangan supaya tidak memperlihatkan perhiasan mereka kecuali apa yang
boleh diperlihatkan.
Hal ini diperintahkan oleh Allah agar memperingatkan
kepada orang-orang yang beriman baik laki-laki maupun perempuan agar mereka
jangan sampai dikendalikan oleh nafsu syahwatnya, bahkan lebih lanjut Hamka
menyatakan ”jika sekiranya berbahaya pandangan laki-laki, niscaya sepuluh kali
berbahaya ditikam sudut mata perempuan”
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah menyatakan[52]; ketika menahan pandangan
menjadi asal (sebab) untuk memelihara kemaluan mulailah ia disebut dan sewaktu
haram hukumnya, maka memandang itu diperbolehkan karena adanya kemaslahatan
yang kuat. Dan memandang diharamkan bila dikhawatirkan timbul kerusakan dan
kemaslahatan yang kuat itu dapat memalingkan dari kerusakan. Allah Ta’ala
memerintahkan untuk menahannya secara mutlak, tetapi diperintahkan untuk
menahannya saja. Dan adapun memelihara kemaluan maka wajib pada setiap keadaan
yang tidak diperbolehkan kecuali dengan haknya, maka itulah umumnya perintah
memelihara kemaluan.
Dan sungguh Allah Ta’ala telah menjadikan mata
sebagai cermin hati, maka bila seorang hamba menahan pandangannya hati akan
menahan pula syahwat dan kehendaknya dan bila mata dapat memisahkan pandangannya
hatipun dapat memisahkan syahwatnya.
Karena ujung pangkal dari perbuatan zina yang keji ini
dari pandangan mata, maka Allah lebih mendahulukan perintah untuk memalingkan
pandangan mata sebelum perintah untuk menjaga kemaluan, karena banyak musibah
besar yang asal muasalnya adalah dari pandangan; seperti kobaran api yang besar
asalnya adalah percikan api kecil. Mulanya hanya pandangan kemudian khayalan,
kemudian langkah nyata kemudian terjadilah musibah yang merupakan masalah besar
(zina)[53]
Ibnu Taimiyah juga menafsirkan dalam kitab tafsirnya
tentang surat an-Nuur ayat 31, ia menyatakan pandangan mata merupakan faktor
penyebab pikiran yang tidak waras. Sebagian ulama salaf berpendapat ” pandangan
mata merupakan panah yang meracuni hati, oleh karena itu Allah Ta’ala
memerintahkan untuk menjaga kemaluan sebagaimana memerintahkan untuk menahan
pandangan mata yang menjadi pemicu nafsu.[54]
Syekh Muhammad Jamaluddin al-Qasimi sebagaimna dikutip
Fadel Ilahi menyatakan: Allah Ta’ala mendahulukan perintah memalingkan
pandangan mata daripada menjaga kemaluan, karena pandangan adalah pengantar ke
arah zina, dan memalingkan pandangan mata merupakan obat yang paling mujarab
untuk mengobati hati dan langsung membidik ke inti sasaran.[55]
Dalam tafsir Ibnu Katsir dikatakan; pandangan merupakan
panah yang menembus ke hati, karena itu Allah menyuruh agar memelihara
kemaluan, sebagaimana diapun menyuruh menjaga pandanagan yang merupakan pemicu
untuk berbuat sesuatu yang tidak baik, sebagaimana firman Allah:
“
Katakanlah kepada para
lelaki yang beriman; Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara
kemaluannya”
Memelihara
kemaluan itu kadang-kadang dengan memeliharanya dari perbuatan zina, sebagaimana
firman Allah Ta’ala ” dan orang-orang yang menjaga kemaluannya” dan
kadang-kadang dengan memelihara pandangan agar tidak melihat kemaluan,
sebagaimana Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
عن بهز قال: حدثني
أبي عن جدي قال: قلت: يا رسول الله، عورا تنا ما نأ تي منها وما نذَر؟ قال: احفظ عورا تك الا من زوجك أو ما ملكت يمينك
{رواه احمد} [56]
”Dari Bahz ia berkata: ayahku menceritakan kepadaku dari
nenekku berkata: aku bertanya ya..Rasulullah! aurat kami sesuatu yang kami
datangkan darinya dan apa yang dilarang? Rasulullah bersabda: jagalah auratmu
kecuali terhadap istrimu dan budak perempuanmu”. (HR. Ahmad)
Dikatakan dalam sabda Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi wa Sallam:
عن أبي أمامه عن النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ النظرة
سهم مسموم من سهام ابليس، فمن غض بصره عن محاسن امرأةِ لله أورث الله قلبه حلاوة
إلى يوم يلقاه {رواه احمد} [57]
”Dari Abi Umamah, dari Nabi Sallallahu ‘Alaihi wa Sallam: Pandangan adalah
anak panah yang beracun dari anak panah iblis, barang siapa yang menahan
pandangannya dari keelokan seorang perempuan maka Allah akan mewariskan cahaya
pada hatinya”. (HR. Ahmad)
Pada ayat 31
Allah memerintahkan kepada kaum wanita mukminah dan merupakan penghargaan dari
Allah bagi suami mereka serta sebagai pembeda antara mereka dengan wanita jahiliyah
dan perilaku wanita musyrik. Sebab turun ayat ini adalah sebagaimana
diceritakan oleh Muqatil bin Hayan, dia berkata: Telah sampai berita kepada
kami dan Allah Maha Tahu, bahwa Jabir bin Abdillah al-Anshari telah
menceritakan bahwa Asma’ binti Mursid tengah berada di tempatnya, yaitu di Bani
Haritsah, tiba-tiba banyak wanita menemuinya tanpa menutup aurat dengan rapi
sehingga tampaklah gelang-gelang kaki mereka, dada dan kepang rambutnya, Asma’
berguman: Alangkah buruknya hal ini. Maka Allah Ta’ala menurunkan ayat
ini ” Katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman, hendaklah mereka menahan
pandangan” dari perkara yang diharamkan Allah untuk melihatnya, kecuali bagi
suaminya. Karena itu sebagian ulama berpandangan bahwa wanita tidak boleh
melihat laki-laki asing secara mutlak.[58]
Begitu juga dalam tafsir al-Maraghi
dikatakan[59];
Allah Ta’ala melarang hamba-hamba-Nya mendekati perzinaan, yaitu
melakukan sebab-sebab dan hal-hal yang mendorong kesana. Selain melarang
perbuatan zina itu sendiri sebagai umgkapan bahwa, larangan berzina adalah
benar-benar keterangan bahwa perbuatan itu sangat buruk, larangan itu kemudian
oleh Allah diberi alasan dengan firman-Nya:
Artinya: ”Sesungguhnya zina adalah nyata keburukannya
dan memuat banyak kerusakan”.
Setelah memperhatikan ayat dan hadits di atas, maka tidak diragukan lagi bahwa berpacaran
itu adalah haram, karena beberapa sebab berikut :
1. Orang yang sedang berpacaran
tidak mungkin menundukkan pandangannya terhadap kekasihnya.
2. Orang yang sedang
pacaran tidak akan bisa menjaga hijab.
3. Orang yang sedang pacaran biasanya sering
berdua-duaan dengan kekasihnya, baik di dalam rumah atau di luar rumah.
4. Wanita akan bersikap
manja dan mendayukan suaranya saat bersama kekasihnya.
5. Pacaran identik
dengan saling menyentuh antara laki-laki dengan wanita, meskipun itu hanya jabat
tangan.
6. Orang yang sedang
pacaran, bisa dipastikan selalu membayangkan orang yang dicintainya.
Dalam kamus pacaran, hal-hal
tersebut adalah lumrah dilakukan, padahal satu hal saja cukup untuk
mengharamkan pacaran, lalu bagaimana kalau semuanya?.
Mungkin banyak yang tidak
setuju dengan pemjelasan di atas, tapi sebenarnya sebagai seorang muslim, harus
mengetahui bahwa hukum berpacaran itu adalah haram. Karena jangankan berpacaran, bersentuhan kulit dengan
lawan jenis yang bukan mahram saja hukumnya sudah haram seperti yang telah
dijelaskan dari beberapa ayat dan hadits di atas. Tetapi kebanyakan umat muslim
seolah-olah tidak tahu bahwa berpacaran itu haram?. Berbagai alasan sering
digunakan untuk menghalalkan perbuatan berpacaran, dengan dalih supaya bisa
mengenal satu sama lain, untuk mengenal sifat calon pasangan hidup dan masih
banyak lagi alasan-alasan lain yang digunakan untuk menghalalkan hukum
berpacaran. Padahal dapat diketahui seberapa lamapun pacaran itu berlangsung, tidak
akan dapat diketahui sifat asli dari masing-masing pasangan, karena pada waktu berpacaran
seseorang itu selalu berusaha menunjukkan sifat baiknya dan selalu berusaha menutupi
sifat jeleknya. Tidak ada manfaat sama sekali dalam berpacaran, justru
sebaliknya banyak kemaksitan yang ditimbulkan dalam berpacaran, seperti hamil
di luar nikah, aborsi anak, seks bebas yang bisa menimbulkan penyakit AIDS, dan
masih banyak lagi kejelekan yang akan dialami jika berpacaran. Hukum adalah
hukum, hukum dibuat untuk dipatuhi bukan untuk dilanggar. Intinya adalah ”yang
haram tetaplah haram, yang halal tetap halal”. Ingatlah akan kehidupan akhirat,
hidup di dunia hanyalah sesaat, kehidupan yang sebenarnya adalah kehidupan
akhirat yang kekal abadi. Tujuan hidup di dunia adalah untuk kehidupan di
akherat. Tidak ada satu manusiapun di dunia ini yang ingin masuk neraka,
melainkan semuanya ingin masuk surga. Kalau ingin masuk surga maka seseorang itu harus berpegang teguh hanya
kepada al-Qur’an dan al-Hadits.
B. Sudut Pandang Ulama
Imam Ibnu Taimiyah berkata: ”Mabuk asmara
(berpacaran) dapat membuat penderitanya kurang akal dan ilmu, rusak agama dan
akhlaknya, lalai akan kebaikan agama dan seluruh dunia dan akibat buruknya
dapat berlipat ganda”[60]
Syaikh Muhammad bin Shaleh
Al-Utsaimin ditanya tentang hubungan cinta sebelum nikah (berpacaran)? Jawab
beliau : Jika hubungan itu sebelum akad nikah, baik sesudah ada lamaran ataupun
belum, maka hukumnya haram, karena tidak boleh seseorang untuk
bersenang-senang dengan wanita asing (bukan mahramnya) baik lewat ucapan,
memandang, ataupun berdua-duaan. Sebagaimana telah tsabit dari
Rasulullah Shalallahu ’Alaihi wa Sallam, bahwa beliau bersabda : "Janganlah
seorang laki-laki berdua-duaan dengan seorang wanita kecuali bersama mahramnya,
dan janganlah seorang wanita bepergian kecuali bersama mahramnya".
Walhasil, apabila hubungan tersebut
setelah akad, maka tidaklah mengapa. Namun apabila sebelum akad nikah, meskipun
setelah khitbah dan diterima, maka sesungguhnya tidak boleh, itu adalah
perbuatan haram baginya, sebab wanita tersebut masih asing dan belum menjadi
mahramnya hingga dia mengadakan akad dengannya.[61]
Syaikh Abdullah bin Abdur Rahman
Al-Jibrin ditanya: "Kalau ada seorang laki-laki yang berkorespondensi
dengan seorang wanita yang bukan mahramnya, yang pada akhirnya mereka
saling mencintai, apakah perbuatan itu haram?" Jawab beliau: Perbuatan itu
tidak diperbolehkan, karena bisa menimbulkan syahwat di antara keduanya, serta
mendorongnya untuk bertemu dan berhubungan, yang mana korespondensi semacam
itu banyak menimbulkan fitnah dan menanamkan dalam hati seseorang untuk
mencintai perzinaan yang akan bisa menjerumuskan seseorang pada perbuatan keji,
maka saya menasehatkan kepada setiap orang yang menginginkan kebaikan bagi
dirinya untuk menghindari surat-suratan, pembicaraan lewat telepon serta
perbuatan semacamnya demi menjaga agama dan kehormatannya.[62]
Syaikh Jibrin juga ditanya : "Apa hukumnya kalau ada seorang pemuda yang belum menikah menelepon gadis yang belum menikah?" Jawab beliau : Tidak boleh berbicara dengan wanita asing (bukan mahramnya) dengan pembicaraan yang bisa menimbulkan syahwat, seperti rayuan, mendayukan suara baik lewat telepon maupun lainnya.[63] Sebagaimana firman Allah Ta'ala :
Syaikh Jibrin juga ditanya : "Apa hukumnya kalau ada seorang pemuda yang belum menikah menelepon gadis yang belum menikah?" Jawab beliau : Tidak boleh berbicara dengan wanita asing (bukan mahramnya) dengan pembicaraan yang bisa menimbulkan syahwat, seperti rayuan, mendayukan suara baik lewat telepon maupun lainnya.[63] Sebagaimana firman Allah Ta'ala :
Artinya: Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti
wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam
berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan
ucapkanlah perkataan yang baik, (QS. Al-Ahzab : 32).
Adapun kalau pembicaraan itu untuk
sebuah keperluan, maka hal itu tidak mengapa apabila selamat dari fitnah, akan
tetapi hanya sekedar keperluan.[64]
Ibnu Qayyim al-Jauziyah
mengatakan: Hubungan intim tanpa pernikahan adalah haram dan merusak
cinta, malah cinta di antara keduanya akan berakhir dengan sikap saling
membenci dan bermusuhan, karena bila keduanya telah merasakan kenikmatan dan
cita rasa cinta, pastilah akan timbul keinginan lain yang tidak diperoleh
sebelumnya.[65]
Yusuf Qaradhawi[66]
ditanya tentang: Bolehkah seseorang itu berduaan dengan tunanganya?
Wanita yang telah dipinang
atau yang dilamar tetap merupakan orang asing (bukan mahram) bagi si pelamar
sehingga terselengggara perkawinan (akad nikah) dengannya. Selama akad nikah
ini belum terlaksana, maka perkawinan itu belum terwujud dan belum terjadi,
baik menurut adat, syara’, maupun undang-undang. Wanita tunangannya tetap
sebagai orang asing bagi si peminang yang tidak halal bagi mereka untuk
berduaan dan bepergian berduaan tanpa disertai salah seorang mahramnya seperti
ayah atau saudara laki-lakinya.
Sedangkan menurut M.
Quraish Shihab mengenai hukum berpacaran itu yaitu:[67]
Sebelum sampai ke jenjang perkawinan, ada
satu tahapan/kegiatan yang diatur oleh agama, yaitu khitbah (pinangan)
atau “masa pacaran”. Untuk itu dianjurkan kepada setiap calon suami untuk
“melihat” calon istrinya (dan tentu demikian pula sebaliknya). Nabi Sallallahu
‘Alaihi wa Sallam
bersabda: ”Lihatlah calon istrimu, karena ia (melihatnya) akan mengundang
kelanggengan hubungan kalian berdua”.
Ini bukan berarti bahwa “pacaran” dalam
pengertian sebagian anak-anak muda sekarang dibolehkan agama. Tidak dan sekali
lagi tidak! Kalau pun ada pacaran yang dibolehkan agama, maka pacaran yang
dimaksud adalah dalam pengertian “teman lawan jenis yang tetap dan mempunyai
hubungan batin, untuk menjadi tunangan, dan kemudian istri”. Pacaran yang
dibenarkan adalah yang “hanya” merupakan sikap batin, bukan yang dipahami
sementara orang, khususnya remaja sekarang, yakni sikap batin yang disusul
dengan tingkah laku, berdua-duaan, saling memegang, dan seterusnya.
Makhluk, termasuk manusia, remaja atau
dewasa, dianugerahi oleh Tuhan rasa cinta kepada lawan seksnya (QS, Ali Imran:
14). Atas dasar itu, agama tidak menghalangi pacaran dalam pengertian di atas.
Agama hanya mengarahkan dan membuat pagar-pagar agar tidak terjadi
“kecelakaan”.
Dahulu ada sebagian ulama memahami sabda
Nabi Sallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang membolehkan “melihat calon istri” sebahagian
“membolehkan melihat wajah dan telapak tangan.” Kini sementara ulama
memahaminya lebih dari itu, yakni mengenalnya lebih dekat, dengan
bercakap-cakap atau bertukar pikiran, selama ada pihak terpercaya yang menemani
mereka, guna menghindar dari segala yang tidak diinginkan oleh norma agama dan budaya.”
Ketika itu, jika terjalin hubungan cinta kasih antara keduanya–meskipun itu
berupa cinta kasih yang muncul sebelum menikah–maka agama tidak menghalanginya.
Bukankah tujuan mereka adalah saling mengenal guna melangsungkan dan
melanggengkan perkawinan?
Dalam konteks perintah Nabi saw. untuk melihat calon
istri yang dikutip di atas, terbaca bahwa beliau tidak menentukan “batas-batas
tertentu” dalam “melihat”. Beliau hanya menentukan tujuan melihat dan hal ini
menunjukkan keluwesan ajaran Islam dan keistimewaannya, sehingga memudahkan
setiap orang pada setiap masa untuk menyesuaikan diri dengan adat istiadat,
etika, dan kepentingan mereka, selama dalam batas-batas yang wajar. Begitu
pandangan banyak ulama kontemporer.
Karena itu, pada masa pertunangan atau "masa
pacaran", calon pasangan tidak dihalangi untuk duduk (berdua) di beranda
rumah bersama salah seorang keluarga atau dari kejauhan orang tua mengamati
mereka. (Pengamatan dari jauh) ini bila sejak semula orang tua telah yakin
bahwa kedua calon pasangan itu, insya Allah, tidak akan mengorbankan
kebahagiaan abadi dengan kesenangan sesaat.
Ketika agama membenarkan hal di atas, maka
itu juga menunjukkan betapa tidak mudah menjalin hubungan yang serasi dan
langgeng tanpa saling mengenal antara pihak-pihak yang berhubungan.
Jika calon suami dan istri sudah saling “melihat” dalam
batas-batas yang dibenarkan agama, dan hati keduanya telah berkenan, maka saat
itu dapatlah calon pasangan atau yang mewakilinya mengajukan khitbah/pinangan.
C. Solusi Pencegahan dan
Penanggulangan Berpacaran.
Sebagai salah
satu jenis penyakit, tentulah mabuk asmara (al-Isyq) yang sedang
berpacaran dapat disembuhkan dengan terapi-terapi tertentu. Di antara terapi
tersebut adalah sebagai berikut:
1.
Bagi yang belum atau yang ingin
berpacaran.
a. Menundukkan pandangan
terhadap lawan jenis.
Allah berfirman dalam surat an-Nuur ayat
30.
Artinya: “Katakanlah kepada laki-laki
beriman: Hendaklah mereka menundukkan pandangannya dan
memelihara kemaluannya.”
Allah juga berfirman dalam surat an-Nuur
ayat 31.
Artinya: ”Dan katakanlah kepada wanita
beriman: Hendaklah mereka menundukkan pandangannya dan
memelihara kemaluannya.”
Seperti yang dikatakan oleh Ibnu Qayyim al-Jauziyyah di
atas “Dan sungguh Allah Ta’ala telah menjadikan mata sebagai cermin hati, maka
bila seorang hamba menahan pandangannya, hati akan menahan pula syahwat dan kehendaknya,
dan bila mata dapat memisahkan pandangannya hatipun dapat memisahkan
syahwatnya.” Allah memerintahkan menahan
pandangan bagi laki-laki dan perempuan yang beriman karena ada beberapa alasan
di antaranya:[68]
1). Bahwa Allah Ta’ala,
memerintahkan menahan pandangan dan Ia tidak membuatkan obat hati akibat
(melakukan sesuatu) yang telah
diharamkan kepada hamba-Nya.
2). Bahwa Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah
ditanya tentang pandangan tiba-tiba, dan beliau sudah mengetahui bahwa pengaruh
pandangan bisa tembus ke dalam hati, lalu beliu menyuruh mengobatinya dengan
memalingkan pandangan, tidak dengan mengulang-ulangi pandangan.
3).
Mengenai masalah pandangan itu sudah
jelas hukumnya bahwa pandangan pertama halal bagi pelakunya sedangkan pandangan
kedua tidak. Bila pandangan diikuti dengan pandangan-pandangan berikutnya
maka mahal obatnya dari sesuatu yang
dimilikinya sendiri dan juga dari sesuatu yang tidak dimilikinya (perasaan
tidak menentu karena telah dirasuki nafsu syetan)
4). Bahwa iblis
ketika seseorang melakukan pandangan kedua dan seterusnya ia berdiri di atas
kendaraannya kemudian menghiasi dengan sesuatu yang tidak baik bagi orang itu.
5). Sesungguhnya
pandangan pertama adalah anak panah dari anak panah iblis, diketahui bahwa pandangan
kedua lebih berat panasnya, maka bagaimanakah mengobati racun dengan racun?
6). Orang yang berada pada maqam/tempat
kedudukan yang besar di sisi Allah Ta’ala dalam meninggalkan sesuatu
yang disenangi sebagaimana yang telah dicita-citakan, yaitu ia ingin melakukan
pandangan kedua untuk mengetahui secara jelas apa yang dipandangnya, jika hal
itu tidak diredhai oleh Allah, ia pasti akan tinggalkan.
Sedangkan
manfaat dari menahan pandangan itu addalah:[69]
1). Membersihkan
hati dari pedihnya penyesalan, maka sesungguhnya pandangan itu bila dilepaskan
ia selalu menyesal, sesuatu yang paling berbahaya pada hati adalah melepaskan
pandangan, karena sesungguhnya pandangan itu dapat memperlihatkan kepada
sesuatu yang ia sangat ingin mencarinya, tiadalah ia bersabar menahannya dan
tiadalah bisa menyambung terhadapnya apa yang dipandang, itulah puncak
kepedihan dan siksanya.
2). Menahan
pandangan dapat melahirkan cahaya pada hati dan penerang yang nampak di mata
dan wajah serta anggota badan. Sebagaimana melepaskan pandangan mengakibatkan
kegelapan yang nampak di wajah dan anggota badan, dan karena Allah lebih
mengetahul telah menyebutkan ayat cahaya dalam firman-Nya:
Artinya: ”Allah (Pemberi) cahaya (kepada)
langit dan bumi”.
Yang
mengiringi firman Allah Ta’ala
Kemudian
sabda Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi wa Sallam:
عن أبي أمامه عن النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ النظرة
سهم مسموم من سهام ابليس، فمن غض بصره عن محاسن امرأةِ لله أورث الله قلبه حلاوة
إلى يوم يلقاه {رواه احمد} [70]
”Dari Abi Umamah, dari Nabi Sallallahu
‘Alaihi wa Sallam Pandangan adalah anak panah yang beracun dari anak panah
iblis, barang siapa yang menahan pandangannya dari keelokan seorang perempuan
maka Allah akan mewariskan cahaya pada hatinya”. (HR. Ahmad)
3). Menahan
pandangan dapat mewariskan firasat yang bagus, karena sesungguhnya firasat
adalah dari cahaya serta buahnya, dan jika terang hatinya maka beninglah
firasatnya, karena ia menjadi tempat seperti kaca bening yang nampak di
dalamnya segala macam yang dapat diketahui.
4). Menahan
pandangan dapat mewariskan kekuatan hati, ketetapan dan keberaniannya, maka
Allah akan memberikan kepadanya pimpinan pandangan bersama kekuatan hujjah
5). Menahan pandangan dapat mewariskan kesenangan
di dalam hati dan kegembiraan.
6). Menahan
pandangan dapat membersihkan hati dari perbudakan syahwat dan hawa nafsu.
7). Menahan pandangan mata dapat menutup
dari pintu-pintu neraka Jahannam, karena memandang adalah pintu syahwat yang
mengundang pada timbulnya perbuatan terlarang, Allah mengharamkannya dan
mensyari’atkan adanya hijab yang menghalangi sampainya pandangan kapan
saja ia mengoyak hijab ia akan dibnasakan oleh perasaan dan nafsunya yang
memuncak.
8). Menahan pandangan dapat menambah dan
menguatkan akal, karena sesungguhnya melepaskan pandangan dan mengarahkannya
tidak akan berhasil, kecuali dari bisikan akal pada kebodohannya, dan tiadanya
pandangan terhadap beberapa akibat maka sesungguhnya keistimewaan akal adalah
pandangannya pada beberapa akibat.
9). Menahan pandangan dapat menyelamatkan
hati dari mabuknya syahwat dan lelapnya kelalaian, sesungguhnya melepaskan
pandangan dapat memastikan lupa kepada Allah dan rumah akhirat, dan menjatuhkan
diri pada mabuk kerinduan, sebagaimana frman Allah tentang kecintaan pada
bentuk rupa:
Artinya: ”(Allah berfirman): "Demi umurmu
(Muhammad), Sesungguhnya mereka terombang-ambing di dalam kemabukan
(kesesatan)". (QS. al-Hijr: 72)
Maka pandangan itu ibarat
segelas minuman khamer dan rindu adalah ibarat mabuk minuman tersebut,
mabuk kerinduan lebih besar bahayanya dari pada mabuk akibat minum khamer,
sesungguhnya mabuk khamer bisa sembuh sedang mabuk kerinduan sedikit
sekali bisa sembuh, kecuali ia berada dalam laskar maut.
b. Menutup aurat.
Sebagaimana Allah berfirman :
Sebagaimana Allah berfirman :
Artinya: “Dan katakanlah kepada para wanita yang beriman:
Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya. Dan
janganlah mereka menampakan perhiasannya, kecuali yang biasa nampak dari
padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung
ke dadanya". (QS. An-Nur : 31).
Juga firnan-Nya dalam surat al-Ahzab: 59
Artinya:
Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan
isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke
seluruh tubuh mereka". yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk
dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.
Perintah menutup aurat juga berlaku bagi semua jenis,
sebagaimana Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ
أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَنْظُرُ الرَّجُلُ إِلَى عَوْرَةِ الرَّجُلِ وَلَا الْمَرْأَةُ
إِلَى عَوْرَةِ الْمَرْأَةِ وَلَا يُفْضِي الرَّجُلُ إِلَى الرَّجُلِ فِي ثَوْبٍ وَاحِدٍ
وَلَا تُفْضِي الْمَرْأَةُ إِلَى الْمَرْأَةِ فِي الثَّوْبِ الْوَاحِدِ }رواه مسلم{ [71]
Dari Abdurrahman bin Abi Sa’id al-Khudriy, dari ayahnya:
Sesungguhnya Rasulullah
Shallallahu ’Alaihi Wa Sallam bersabda: Janganlah seorang laki-laki memandang aurat laki-laki yang lain, dan jangan
pula seorang perempuan memandang aurat perempuan lain. Janganlah laki-laki
masuk ke dalam satu selimut dengan laki-laki lain dan janganlah perempuan masuk
ke dalam satu selimut dengan perempuan lain. (HR. Muslim dan Abu Daud)
c.
Tidak
mendayukan ucapan.
Seorang wanita dilarang mendayukan ucapan saat berbicara kepada
selain suami. Firman Allah Ta’ala
Artinya: "Hai istri-istri Nabi, kamu sekalian tidaklah
seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam
berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan
ucapkanlah perkataan yang baik". (QS. Al-Ahzab : 32)
Imam Ibnu Katsir berkata: Ini
adalah beberapa etika yang diperintahkan oleh Allah kepada para istri
Rasulullah saw serta para wanita mu'minah lainnya, yaitu hendaklah dia kalau
berbicara dengan orang lain tanpa suara merdu, dalam artian janganlah seorang
wanita berbicara dengan orang lain sebagimana dia berbicara dengan suaminya.[72]
d. Tidak menyentuh lawan
jenis.
Sebagaimana hadits
yang di riwayatkan oleh Thabrani dan Baihaqi dari Ma’bit bin Yasar dari Nabi Sallallahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda:
لان يطعن فى رأس
احد كم بمخيط من حد يد خير له من ان يمس امرأة لا تحل له [73]
"Seandainya kepala seseorang ditusuk
dengan jarum besi itu masih lebih baik daripada menyentuh wanita yang tidak
halal baginya".
Syaikh Nasiruddin
al-Albani Rahimahullah berkata: "Dalam hadits ini terdapat ancaman
keras terhadap orang-orang yang menyentuh wanita yang tidak halal
baginya".[74]
Rasulullah Sallallahu
‘Alaihi wa Sallam tidak
pernah menyentuh wanita meskipun dalam saat-saat penting seperti membai'at
dan lain-lain.
عن عا ئشة رضي
الله عنها قا لت: كان النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يبا يع النساء بالكلام يهده الأية لا يشركن بالله شيئا قالت: وما مست يد رسول اله صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يد امرأة الا امرأة يمليكها {رواه
البخاري} [75]
”Dari 'Aisyah Radhiyallahu ‘Anha berkata: "Demi Allah, tangan Rasulullah tidak pernah sama sekali menyentuh tangan wanita di dalam bai’at, bai’at Rasulullah dengan mereka adalah berupa ucapan". (HR. Bukhari)
Inilah sebagian etika
pergaulan laki-laki dengan wanita selain mahram, yaitu apabila seseorang
melanggar semuanya atau sebagiannya saja maka akan menjadi dosa zina baginya,
sebagaimana sabda Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi wa Sallam:
قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ أَنَّ
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ عَلَى
ابْنِ آدَمَ حَظَّهُ مِنْ الزِّنَا أَدْرَكَ ذَلِكَ لَا مَحَالَةَ فَزِنَا
الْعَيْنَيْنِ النَّظَرُ وَزِنَا اللِّسَانِ النُّطْقُ وَالنَّفْسُ تَمَنَّى وَتَشْتَهِي
وَالْفَرْجُ يُصَدِّقُ ذَلِكَ أَوْ يُكَذِّبُه }رواه مسلم{ [76]
Abu Hurairah berkata: Sesungguhnya Nabi Shallallahu ’Alaihi wa
Sallam bersabda: Sesungguhnya Allah
telah menetapkan atas diri anak keturunan Adam bagiannya dari zina, dia
mengetahui yang demikian tanpa dipungkiri. Mata itu berzina dan zinanya adalah pandangan,
lidah itu berzina dan zinanya itu adalah perkataan, hati itu berkeinginan dan
berangan-angan, sedangkan kemaluan membenarkan atau mendustakannya (HR. Muslim)
Padahal Allah Ta'ala telah melarang perbuatan zina dan segala sesuatu yang bisa mendekati perzinaan, sebagaimana firmanNya:
Artinya: Dan
janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan
yang keji dan suatu jalan yang buruk". (QS. Al-Isra' : 32).
e. Menghindari campur
baur antara laki-laki dan perempuan (ikhtilath).
Sesungguhnya
Allah Ta’ala telah menciptakan manusia dari jenis laki-laki dan jenis
perempuan. Dan Allah telah menanamkan di dalam hatinya rasa cinta dan
ketertarikan antara jenis yang satu dengan jenis yang lainnya itu dengan maksud
untuk menjaga keturunan manusia dengan melakukan pernikahan dan kemudian
melahirkan. Karena itu Islam melarang laki-laki dan perempuan berdua-duaan di
tempat yang sepi, dengan tujuan untuk menghindari timbulnya fitnah yang tidak
diinginkan, dan sekaligus sebagai penutup jalan menuju sesuatu yang terlarang.
Sesungguhnya
Islam tidak mengenal istilah ikhtilath yaitu berbaurnya antara laki-laki
dan perempuan secara bebas, tanpa adanya batas dan aturan. Hal ini hanya
dikenal oleh dunia Barat saja, hal ini telah ditransfer dan masuk ke dalam
budaya umat Islam, hal ini disebabkan oleh sikap yang suka meniru terutama bagi
para remaja. Padahal dapat diketahui bahwa Ikhtilat itu sangat
berbahaya, karena ketika berikhtilat ini dipraktekkan, pasti diikuti
dengan perbuatan-perbuatan yang tidak Islami, seperti ngobrol kesana-kemari,
saling pandang, saling bersentuhan badan
bahkan mengarah kepada perbuatan zina.
Karena itu
para remaja hendaklah berhati-hati ketika berbaur dengan lawan jenis, ketika
berteman, harus selalu menjaga nilai-nilai, yang bebas dari perbuatan maksiat
agar nantinya tidak terperosok ke jurang kesesatan.
f. Bergaul dengan teman yang baik dan
menghindari teman yang buruk.
Seorang
laki-laki atau seorang perempuan yang menginjak usia pubertas atau ABG biasanya
lebih mudah terpengaruh oleh perilaku dan omongan teman-temannya daripada orang
tuanya. Karena menurut kebiasaan, seseorang akan dikenal berdasarkan teman
bergaulnya. Misalnya, ada seorang perempuan berteman dengan perempuan yang
nakal, oleh masyarakat ia akan dikenal berdasarkan teman bergaulnya itu: ”dia
itu teman si fulanah.... wajar sekali jika perilakunya seperti itu!”.
Betapa
indahnya perkataan seorang penyair:[77]
”Anda dinilai masyarakat berdasarkan teman
yang anda pilih, karena itu bertemanlah dengan orang-orang yang baik, niscaya
anda akan menjadi orang-orang yang terpandang dan anda akan mendapatkan
reputasi yang baik”
Teman yang
memeiliki iltizham (komitmen) kepada Islam, yang baik lagi beradap akan
memberi manfaat kepada temannya baik di dunia maupun di akhirat, bahkan akan
senantiasa mendapatkan kebaikan darinya, sebagaimana Rasulullah Sallallahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda:
عن أَبِي بُرْدَةَ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ
قَالَ سَمِعْتُ أَبَا بُرْدَةَ بْنَ أَبِي مُوسَى عَنْ أَبِيهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالْجَلِيسِ
السَّوْءِ كَمَثَلِ صَاحِبِ الْمِسْكِ وَكِيرِ الْحَدَّادِ لَا يَعْدَمُكَ مِنْ صَاحِبِ
الْمِسْكِ إِمَّا تَشْتَرِيهِ أَوْ تَجِدُ رِيحَهُ وَكِيرُ الْحَدَّادِ يُحْرِقُ بَدَنَكَ
أَوْ ثَوْبَكَ أَوْ تَجِدُ مِنْهُ رِيحًا خَبِيثَة {رواه البخا رى} [78]
Dari Abu Burdah bin Abdullah dia berkata: aku mendengar Aba Burdah
bin Abi Musa dari ayahnya Radhiallahu ‘Anhu dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: Sesungguhnya perumpamaan teman
duduk yang shaleh dan teman duduk yang jelek, seperti seorang yang membawa
minyak kasturi dan tukang besi yang meniupkan hawa panas. Adapun yang membawa
minyak kasturi, adakalanya ia akan memberimu minyak tersebut, atau engkau akan
membelinya, atau engkau mendapatkan bau wanginya, sedangkan tukang tiup besi
panas, mungkin akan membakar pakaianmu atau engkau dapatkan darinya bau yang
tidak sedap (HR. Bukhari )
Jelaslah kiranya bagi para remaja muslim
bahwasanya berteman dengan orang yang nakal akan menjadi musuh bebuyutan kelak
pada hari kiamat, sebagaimana firman Allah Ta’ala dalam surat az-Zukhruf: 64
Artinya: “Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya menjadi
musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertakwa”.
g. Memikirkan resiko yang akan ditimbulkan dalam
berpacaran.
Jika seseorang ingin
berpacaran, maka hendaklah berfikir mengenai dampak negatif dan kerusakan yang
akan ditimbulkannya segera, seperti hamil di luar nikah, aborsi anak, seks
bebas yang bisa menimbulkan penyakit AIDS, dan masih banyak lagi kejelekan yang
akan dialami jika berpacaran, sedangkan kemasalahatan akan gagal diraihnya.
Sebab mengikuti hawa nafsunya akan menimbulkan kerusakan dunia dan menepis
kebaikan yang datang, lebih parah lagi dengan memperturutkan hawa nafsu ini
akan menghalanginya untuk mendapat petunjuk, yang merupakan kunci
keberhasilannya dan kemaslahatannya.
2. Solusi pencegahan dan penanggulangan bagi
yang sedang berpacaran.[79]
a. Melaksanakan pernikahan, atau jika tidak
mampu hendaklah berpuasa.
Perkawinan
atau nikah artinya ialah akad atau ikatan lahir batin antara seorang laki-laki
dengan seorang perempuan, yang menjamin halalnya pergaulan sebagai suami istri
dan sahnya hidup berumah tangga dengan tujuan membentuk keluarga sejahtera.[80]
Perkawinan
itu amat penting kedudukannya sebagai dasar pembentuk keluarga sejahtera, di
samping melampiaskan seluruh rasa cinta yang sah. Itulah sebabnya menikah
dianjurkan oleh Allah Ta’ala dan menjadi sunnah dari Nabi Muhammad Shallallahu ’Alaihi wa Sallam. Sebagaimana firman Allah dalam surat
an-Nuur: 32
Artinya: Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian di antara kamu,
dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan
hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan
mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha
Mengetahui.
Jika terdapat peluang bagi orang yang
sedang kasmaran tersebut untuk meraih cinta orang yang dikasihinya dengan
ketentuan syariat dan suratan taqdirnya, maka inilah terapi yang paling
utama. Sebagaimana terdapat dalam sahihain dari riwayat Ibn Mas’ud
Radhiyallahu ’Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
bersabda:
يا معشر الشباب من
استطاع منكم الباءة فليتزوج فا نه اغض للبصر واحصن للفرج ومن لم يستطع فعليه
بالصوم، فا نه له وجاءٌ {رواه البخاري و مسلم} [81]
Hai sekalian pemuda, barang siapa yang mampu untuk
menikah maka hendaklah dia menikah, karena sesungguhnya nikah itu dapat
memejamkan mata dan memelihara kemaluan. Dan barang siapa yang belum mampu maka
hendaklah berpuasa karena puasa itu sebagai benteng baginya. (HR. Bukhari dan
Muslim)
Kemudian dalam hadits lain beliau bersabda:
عَنْ ابْنِ عَجْلَانَ عَنْ سَعِيدٍ
الْمَقْبُرِيِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَلَاثَةٌ حَقٌّ عَلَى اللَّهِ عَوْنُهُمْ الْمُجَاهِدُ
فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَالْمُكَاتَبُ الَّذِي يُرِيدُ الْأَدَاءَ وَالنَّاكِحُ الَّذِي
يُرِيدُ الْعَفَافَ {رواه الترمذي } قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا
حَدِيثٌ حَسَنٌ[82]
Dari Ibnu ‘Ajlaan dari Sa’id al-Magburiy dari Abi
Hurairah ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
Tiga golongan yang berhak ditolong oleh Allah: yaitu pejuang di jalan Allah,
Mukhatib (budak yang membeli dirinya dari tuannya) yang mau melunasi
pembayarannya dan orang yang kawin karena mau menjauhkan dirinya dari yang
haram (H.R. at-Turmuzi), Abu ’Isa berkata hadits ini hasan.
Kemudian dalam hadits lain beliau bersabda:
عن صفية عن النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قال: ان الشيطان بجرى من ابن ادم مجرى الدم فضيقوا مجاريه بالجوع والعطش { رواه البخاري} [83]
”Dari Shafiyah dari Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda: Sesungguhnya syetan itu berjalan di dalam diri
anak Adam melalui peredaran darah, maka persempitlah jalannya melalui lapar dan
dahaga”. (HR. Bukhari)
Hadis ini memberikan dua solusi, solusi
utama, dan solusi pengganti. Solusi utama adalah menikah, maka jika solusi ini
dapat dilakukan, tidak boleh mencari solusi lain.
Inilah tujuan dan anjuran Allah untuk
menikahi wanita, baik yang merdeka ataupun budak dalam firman-Nya:
Artinya: Allah hendak
memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah”.(An-Nisa
: 28)
Allah menyebutkan dalam ayat
ini keringanan yang diberikannya terhadap hamba-Nya dan kelemahan manusia untuk
menahan syahwatnya dengan membolehkan mereka menikahi para wanita yang
baik-baik, dua, tiga ataupun empat orang, sebagaimana Allah membolehkan bagi
mereka mendatangi budak-budak wanita mereka. Sampai-sampai Allah membuka bagi
mereka pintu untuk menikahi budak-budak wanita jika mereka butuh sebagai
peredam syahwat, sebagai keringanan dan rahmat-Nya terhadap makluk yang lemah
ini.
b. Melupakan dan menjauhi orang yang
dicintai atau sang pacar.
Jika terapi di atas tidak dapat dilakukan
karena tertutupnya peluang menuju orang yang dikasihinya karena ketentuan
syar’i dan takdir, penyakit ini bisa semakin ganas. Adapun terapinya harus
dengan meyakinkan dirinya bahwa apa-apa yang diimpikannya mustahil terjadi,
lebih baik baginya untuk segera melupakannya. Jiwa yang berputus asa untuk
mendapatkan sesuatu, niscaya akan tenang dan tidak lagi mengingatnya. Jika
ternyata belum terlupakan, akan berpengaruh terhadap jiwanya, sehingga semankin
menyimpang jauh.
Dalam kondisi seperti ini
wajib baginya untuk mencari terapi lain, yaitu dengan mengajak akalnya berfikir
bahwa menggantungkan hatinya kepada sesuatu yang mustahil dapat dijangkau adalah
perbuatan gila, ibarat punguk merindukan bulan. Bukankah orang-orang akan menganggapnya
termasuk ke dalam kumpulan orang-orang yang tidak waras?
Apabila kemungkinan untuk
mendapatkan apa yang dicintainya tertutup karena larangan syariat, terapinya
adalah dengan menganggap bahwa yang dicintainya itu bukan ditakdirkan menjadi
miliknya. Jalan keselamatan adalah dengan menjauhkan dirinya dari yang
dicintainya. Dia harus merasa bahwa pintu ke arah yang diingininya tertutup,
dan mustahil tercapai.
c. Memahami hakikat
cinta yang sebenarnya.
Jika ternyata jiwanya yang
selalu menyuruhnya kepada kemungkaran masih tetap menuntut, hendaklah dia mau
meninggalkannya karena dua hal, pertama karena takut (kepada Allah) yaitu
dengan menumbuhkan perasaan bahwa ada hal yang lebih layak dicintai, lebih
bermanfaat, lebih baik dan lebih kekal. Seseorang yang berakal sehat jika menimbang-nimbang
antara mencintai sesuatu yang cepat sirna dengan sesuatu yang lebih layak untuk
dicintai, lebih bermanfaat, lebih kekal dan lebih nikmat, akan memilih yang
lebih tinggi derajatnya, tidak akan sampai menggadaikan kenikmatan abadi yang
tidak terlintas dalam pikiran dengan kenikmatan sesaat yang segera berbalik
menjadi sumber penyakit. Ibarat orang yang sedang bermimpi indah, ataupun
menghayal terbang melayang jauh, ketika tersadar ternyata hanyalah mimpi dan
khayalan, akhirnya sirnalah segala keindahan semu, tinggal keletihan, hilang
nafsu dan kebinasaan menunggu.
Kedua, keyakinan bahwa
berbagai resiko yang sangat menyakitkan akan ditemuinya jika dia gagal
melupakan yang dikasihinya, dia akan mengalami dua hal yang menyakitkan
sekaligus, yaitu: gagal dalam mendapatkan kekasih yang diinginkannya, dan
bencana menyakitkan dan siksa yang pasti akan menimpanya. Jika yakin bakal
mendapati dua hal menyakitkan ini niscaya akan mudah baginya meninggalkan
perasaan ingin memiliki yang dicinta. Dia akan bepikir bahwa sabar menahan diri
itu lebih baik. Akal, agama, harga diri dan kemanusiaannya akan
memerintahkannya untuk bersabar sedikit demi mendapatkan kebahagiaan yang
abadi. Sementara kebodohan, hawa nafsu, kezalimannya akan memerintahkannya
untuk mengalah mendapatkan apa yang dikasihinya. Orang yang terhindar adalah
orang-orang yang dipelihara oleh Allah.
d. Mengingat sisi-sisi jelek sang kekasih atau sang pacar.
Jika terapi ini tidak
mempan juga untuknya, hendaklah dia selalu mengingat sisi-sisi kejelekan
kekasihnya, dan hal-hal yang membuatnya dapat menjauh darinya. Jika dia mau
mencari-cari kejelekan yang ada pada kekasihnya, niscaya dia akan
mendapatkannya lebih dominan dari keindahannya, hendaklah dia banyak bertanya
kepada orang-orang yang berada disekeliling kekasihnya tentang berbagai
kejelekannya yang tersembunyi baginya. Sebab sebagaimana kecantikan adalah
faktor pendorong seseorang untuk mencintai kekasihnya, demikian pula kejelekan
adalah pendorong kuat agar dia dapat membencinya dan menjauhinya. Hendaklah dia
mempertimbangkan dua sisi ini dan memilih yang terbaik baginya. Jangan sampai
terperdaya dengan kecantikan kulit dengan membandingkannya dengan orang yang
terkena penyakit sopak dan kusta, tetapi hendaklah dia memalingkan
pandangannnya kepada kejelekan sikap dan prilakunya, hendaklah dia menutup
matanya dari kecantikan fisik dan melihat kepada kejelekan yang diceritakan mengenainya
dan kejelekan hatinya.
e. Bertaubat kepada Allah Ta’ala.
Jika terapi ini masih saja
tidak mempan baginya, maka terapi terakhir adalah mengadu dan memohon dengan
jujur kepada Allah yang senantiasa menolong orang-orang yang ditimpa musibah
jika memohon kepada-Nya, hendaklah dia menyerahkan jiwa sepenuhnya di hadapan
kebesaran-Nya, sambil memohon, merendahkan dan menghinakan diri. Jika dia dapat
melaksanakan terapi terakhir ini, maka sesungguhnya dia telah membuka pintu
taufik (pertolongan Allah).
Setiap muslimin dan muslimah
diperintahkan agar bertaubat, perintah Allah tersebut berdasarkan pada
firman-Nya:
Artinya: ”Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang
beriman supaya kamu beruntung”. (QS.an-Nuur:31)
Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam senantiasa bertaubat kepada Allah lebih dari tujuh puluh
kali dalam sehari, dengan bertaubat dan selalu memperbarui taubatnya, berarti
senantiasa telah menjalin komunikasi dengan Allah Ta’ala. Demikianlah
seharusnya jika seorang muslim berbuat
maksiat kepada Allah, sebagaimana firman Allah dalam surat az-Zumar: 53
Artinya: Katakanlah:
"Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri,
janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni
dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.
Firman-Nya yang lain:
Artinya: Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni
dosa syirik, dan dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi
siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka
sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.(QS.an-Nisa’: 48)
Faktor yang dapat mempermudah bertaubat
yaitu, hendaklah menjalin hubungan dengan teman-teman yang berakhlak baik, yang
bisa saling mengingatkan kepada Allah Ta’ala dan salaing mengingatkan ke jalan
keberuntungan dan keselamatan. Dan menghindari berteman dengan teman-teman yang
berakhlak buruk.
Sesungguhnya penuntasan masalah pacaran ini tidak
bisa hanya dilakukan oleh satu pihak saja, akan tetapi dituntut kerjasama semua
pihak, sehingga terwujud generasi-generasi yang berjalan di atas syari’at Allah,
baik perkataannya maupun perbuatannya. Adapun pihak-pihak yang penulis himbau
untuk ikut terlibat dalam mencegah terjadinya atau menjamurnya budaya
berpacaran adalah:
1.
Kedua
Orangtua
Kedua orang tua memiliki
peranan yang sangat penting dalam mewujudkan generasi yang shaleh, karena itu hendaklah
setiap orang tua memiliki pengetahuan yang memadai dan mendalam tentang
agamanya, menanamkan aqidah dari usia dini, membekali anak-anaknya dengan ilmu
dan amal shaleh. Dalam kaitan ini peran orang tua sangat penting dalam mengawasi pergaulan
anak-anaknya terutama yang lebih menjurus kepada pergaulan dengan lain jenis.
Adalah suatu keteledoran jika orang tua membiarkan anak-anaknya bergaul bebas
dengan bukan mahramnya. Oleh karena itu sikap yang bijak bagi orang tua kalau
melihat anaknya sudah saatnya untuk menikah, maka sebaiknya dinikahkan segera.
Tugas orang tua bukan hanya memberikan kebutuhan yang bersifat materil
dengan segala fasilitasnya, akan tetapi juga wajib baginya memperhatikan
kebutuhan rohani anaknya dengan membimbingnya, mendidiknya dan mengarahkannya
menjadi seorang anak yang berakhlak mulia. Dan satu hal lagi yang banyak
dilupakan oleh orang tua adalah bahwasanya mereka para orang tua tidak
memberikan contoh tauladan yang baik terhadap anaknya, yang pada akhirnya anak
tidak mau patuh kepada perintah orang tuanya.
2. Para Tenaga Pendidik
Hal ini meliputi guru-guru di sekolah atau para dosen di perguruan tinggi,
atau di lembaga formal atau non formal lainnya, karena seorang pendidik di
sekolah atau di perguruan tinggi adalah guru yang kedua setelah kedua orangtua.
Para pendidik memiliki peranan yang sangat besar dalam membentuk kepribadian
sang anak. Para pendidik hendaklah mempunyai
kepedulian dan perhatian yang besar dalam membentuk kepribadian sang anak.
Para pendidik hendaklah mempunyai kepedulian dan perhatian yang besar kepada
agamanya, mengarahkan anak didiknya untuk beribadah, mentaati Allah Subhanahu
wa Ta’ala dan Rasul-Nya, memberikan contoh yang baik dalam berpakaian,
bertutur kata dan dalam beribadah.
Seorang pendidik bukan hanya mentransfer ilmu, akan tetapi hendaknya
juga sebagai pengasuh dan sebagai orang tua di sekolah. Namun kenyataan
menunjukkan bahwa banyak dari kalangan para pendidik bersikap hanya sekedar mentransfer
ilmu, sehingga tidak membuahkan hasil yang diharapkan. Para pendidik harus
memberi arahan tentang bahaya berpacaran serta memberi peringatan dan hukuman
yang keras terhadap anak didik yang berpacaran.
Ketika pihak orang tua dan guru saling menjalin kerja sama yang baik dalam
membentuk kepribadian anak, maka Insya Allah generasi muda bisa diselamatkan
dari bahaya berpacaran.
3. Kepada Para Aparat
Pemerintah dan Penegak Hukum.
Para aparat pemerintah dan penegak hukum juga memiliki peranan penting
dalam hal ini, karena mereka adalah orang-orang yang dipercayai dan memegang
amanah untuk mencegah kemungkaran dengan kekuasaannya, sehingga jikalau para
aparat dan penegak hukum ini punya kepedulian dalam memberantas dalam berbagai
macam bentuk maksiat, maka Insya Allah akan tegaklah kebenaran di negeri ini
dan lenyaplah kebathilan.
Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi taufiq dan hidayah-Nya
kepada para pemimpin kita, sehingga apabila mereka baik maka baiklah negeri
kita, dan apabila mereka rusak maka negeri kita juga akan rusak dan binasa.
BAB
IV
PENUTUP
A Kesimpulan
Sebagai penutup penulis akan
memberikan kesimpulan akhir dari skripsi ini yang merupakan jawaban dari
rumusan dan batasan masalah sebagai berikut:
1. Ada Beberapa anggapan keliru yang dikemukakan
oleh orang-orang yang sedang berpacaran antara lain: Mereka megatakan bahwa
pacaran itu adalah sebagai media untuk mendapatkan jodoh, pacaran itu adalah
fitrah dari Allah dan dengan berpacaran itu dapat menunbuhkan rasa cinta.
2.
Faktor penyebab terjadinya pacaran yaitu: Kedangkalan atau minimnya pengetahuan
remaja dan generasi muda tentang agamanya, pengaruh buruk lingkungan, tidak
terjaganya pandangan mata, rumah tangga yang kosong dari Tarbiyah Islam
yang benar, bertebarnya media informasi yang salah yang diadopsi secara
keseluruhan oleh para remaja, dan rendahnya kualitas iman yang dimiliki oleh
seseorang sehingga menganggap berpacaran itu suatu hal yang diprerbolehkan.
3. Ternyata berpacaran tidak ada manfaat sama
sekali, justru sebaliknya banyak dampak negatif yang ditimbulkan dalam
berpacaran, seperti: pacaran adalah pintu gerbang menuju perbuatan zina,
mematikan cinta dan merusaknya, menjatuhkan kehormatan dan harga diri seorang
wanita, bahkan menimbulkan dampak yang lebih parah seperti: hamil di luar
nikah, aborsi anak, seks bebas yang bisa menimbulkan penyakit AIDS, yang semua
itu dapat merusak masa depan.
4. Al-Qur’an
memberikan beberapa kiat sebagai solusi pencegahan dan penanggulangan
berpacaran di antaranya yaitu:
a. Bagi
yang belum atau yang ingin berpacaran ada beberapa solusi yang ditawarkan oleh
al-Qur’an antara lain: Menundukkan pandangan terhadap lawan jenis, menutup
aurat, tidak mendayukan ucapan, tidak menyentuh lawan jenis, menghindari campur
baur antara laki-laki dan perempuan (ikhtilath), bergaul dengan teman
yang baik dan menghindari teman yang buruk, dan memikirkan resiko yang akan
ditimbulkan dalam berpacaran.
b. Bagi yang sedang berpacaran ada beberapa
solusi yang ditawarkan antara lain: Melaksanakan pernikahan, atau jika tidak
mampu hendaklah berpuasa, melupakan dan menjauhi orang orang yang dicintai atau
sang pacar, memahami hakikat cinta yang sebenarnya, mengingat sisi-sisi jelek
sang kekasih atau sang pacar dan bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
B. Saran-saran
Dari penjelasan dan kesimpulan skripsi di
atas maka penulis dapat memberikan saran-saran sebagai berikut:
- Kepada para generasi muda terutama generasi muda muslim, hendaklah bergaul dengan teman yang baik dan menghindari teman yang buruk dan hendaklah berhati-hati ketika berbaur dengan lawan jenis, ketika berteman, harus selalu menjaga nilai-nilai, yang bebas dari perbuatan maksiat agar nantinya tidak terperosok ke jurang kesesatan. Jika ingin berpacaran juga, maka hendaklah berfikir matang-matang mengenai dampak negatif dan kerusakan yang akan ditimbulkannya segera, seperti hamil di luar nikah, aborsi anak, seks bebas yang bisa menimbulkan penyakit AIDS, dan lain-lainnya.
- Kepada kedua orang tua hendaklah memberikan contoh tauladan yang baik terhadap anak-anaknya dan memiliki pengetahuan yang memadai dan mendalam tentang agamanya, menanamkan aqidah dari usia dini, membekali anak-anaknya dengan ilmu dan amal shaleh, karena anak merupakan amanah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala yang wajib dijaga dengan memberikan bekal aqidah, ibadah, dan muamalah yang benar. Bukan sebaliknya membiarkan anaknya berpacaran karena beban amanah ini akan dimintai pertanggungjawabannya di akhirat nanti.
- Kepada pengelola media massa, baik media cetak maupun elektronik hendaklah membatasi gambar-gambar dan tayangan-tayangan seperti: film, gambar-gambar porno, bacaan porno dan sebagainya. Hal ini dimaksudkan untuk memperkecil kemungkinan terjadinya aktifitas berpacaran yang sering melanda para remaja sehingga terjerumus ke jurang maksiat dan perzinaan yang dapat merusak moralitas generasi bangsa ini.
- Penulis berharap wacana keilmuan khususnya ilmu tafsir dan ilmu hadits, dapat ditingkatkan lagi sehingga hadits-hadits Nabi dapat tumbuh subur di kalangan akademisi Islam khususnya dan masyarakat umumnya dalam rangka memahamin suatu ayat atau dalam rangka mencari kebenaran suatu hadits.
- Dalam hal mendapatkan referensi yang bervariasi di STAI-PIQ masih kurang, maka penulis menyarankan agar perpustakaan STAI-PIQ dapat melengkapi literatur-literaturnya demi peningkatan mutu dan kualitas mahasiswa, khususnya mahasiswa STAI-PIQ.
- Uraian dalam skripsi ini belumlah sempurna adanya, ada beberapa poin barangkali yang belum tersentuh sama sekali oleh penulis, oleh karena itu, kepada rekan-rekan mahasiswa atau para pembaca umumnya yang masih melihat kekurangan dalam skripsi ini, agar dijadikan sebagai bahan tela'ahan berikutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Asy’ats, Abu Daud
Sulaiman Ibn, Sunan Aby Daud, Beirut: Dar al-Fikr, t,t
Al-Baqy, Muhammad Fuad Abd, Al-Mu’jam al-Mufahras li Alfazh al-Qur’an
al-Karim Kairo: Dar al-Hadits, 1411 H/ 1191 M
Al-Bukhari, Abu Abdillah
Muhammad bin Isma’il al-Mughirah bin Bardizbah Shahih al-Bukhari, Beirut:
Dar Ihya’ ath-Turats al-‘Arabiy, t.t
Al-Hayyi al Farmawi, Abdul,
Metode Tafsir Maudhu’i, Sebuah Pengantar, (terj) Suryan A. Jamrah, judul
asli : al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudhu’iy, Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada 1994
Al-Jarullah, Abdullah bin
Jarullah bin Ibrahim, Hak dan Kewajiban Wanita Muslimah Menurut al-Qur’an
dan as-Sunnah, (terj) M. Abdul Ghaffar E.M, judul asli: Mas-uuliyyatul
Mar-ah al-Muslimah, Jakarta: Pustaka Imam Syafi’i, 2005
Al-Mukaffi, Abdurrahman, Pacaran
Dalam Kacamata Islam, Jakarta: Media Da’wah 2006
Al-Qattan, Manna’ Khalil, Pengantar Studi Ilmu al-Qur’an (terj)
Aunur Rafiq El-Mazni, judul asli: Mabahits fiy ’Ulum al-Qur’an Jakarta:
Pustaka al-Kautsar 2007
Artikel www.muslim.or.id
Depdikbud, Kamus
Besar Bahasa Indonesia,
(Penerbit: Balai Pustaka), 1990
Fathi Abdullah, Adil, 35 Pesan Nabi Kepada
Muslimah, (terj) Ghazali Mukri, judul asli: 35 Nashihah lil Fatayat fi
Sinnil Murahaqah, Yokyakarta: Salma Pustaka, 2006
Fida’ Isma’il Ibnu Katsir
ad-Dimasyiqi, Abdul, Tafsir Ibnu Katsir, (terj) Bahrun Abu Bakar dan Anwar
Abu Bakar, judul asli: Tafsir al-Qur’an al-Karim Bandung: Sinar Baru Algesindo 2004
Hafsah Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq, Abu, Panduan
Lengkap Nikah Dari A Sampai Z, (terj) Ahmad Saikhu, judul asli: Isyaratun
Nisaa’ Minal Alif ila Yaa’, Bogor: Pustaka Ibnu Katsir, 2007
http://ulamasunnah.wordpress.com,
Ibnu Qayyim Al-Jauziah, Zadul Ma'ad Fi Hadyi Khairi Ibad Juz 4, (terj) Ahmad Ridwan,Lc Abu Fairuz Al-Medani
IAIN Imam Bonjol Padang, Tuntunan Penulisan Karya Ilmiah Padang:
IAIN Imam Bonjol Press 2001
Ilahi, Fadhel, Zina Problematika dan Solusinya,,
(terj) Subhan Nur, judul asli: at-Tadabur al-Waqiyah min az-Zina fi al-Fiqh
al-Islami, Jakarta:Qisthi
Press, 2005
Maktabah
Syamilah
Malik bin Abdul Hakim
Amrullah (Hamka), Abdul ,Tafsir al-Azhar, Surabaya: Yayasan Latimojong,
1981
Miji Lestari, Prembayun, Ketika Harus Jatuh Cinta,
Solo: Media Insani Press, 2007
Muslim Bin Hajjaj, Aby Husain, Shahih Muslim, Beirut:
Dar Ihya’ at-Turats al-‘Arabiy, t.t
Musthafa, al-Maraghi Ahmad, Tafsir al-Maraghi,
(terj) Heri Nur Ali, K, Anshari Umar Sitanggal dan Bahrun Abu Bakar, Semarang:
CV. Toha Putra 1989
Qardhawi,Yusuf, Fatwa-fatwa Kontemporer,
(terj) As’ad Yasin, judul asli: Hadyul Islam Fatawi Mu’ashirah, Jakarta: Gema Insani
Press, 1999
________, Halal Haram Dalam Islam, (terj)
Wahid Ahmadi, Jasiman, Khazim Abu Raqib dan Kamal Fauzi, judul asli al-Halal
wal Haram fil Islam, Solo: Era Intermedia , 1421 H/2OOO M
Qayyim
al-Jauziyyah, Ibnu, Hukum Memandang Wanita, (ter) M. Syaifullah
al-Aziz Senali, judul asli: Hukmun Nazhari lin-Nisa’i, Surabaya: Putra Pelajar, 2001
_________, Jangan Dekati Zina, (terj) Tim
Darul Haq, judul asli: Wala Taqrabu az-Zina, Jakarta: Darul Haq, 2000
_________, Taman Orang-orang Jatuh Cinta dan
Rekreasi Orang-orang Dimabuk Rindu, (terj) Bahrun Abu Bakar Ihsan Zubaidi,
judul asli: Raudhatul Muhibbin Wanuzhatul Musytaqin, Bandung: Irsyad Baitussalam, 2006
Sabiq, Sayyid, Fiqih Sunnah Jilid 6, (terj)
Moh, Thalib, judul Asli: Fiqh as-Sunnah , Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1996
Sarwan, Ahmad, Fiqh Akhwat, Jakarta: Crescent Press, 2005
Suparta, Munzier, Ilmu
Hadits, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2003
Syakir,Ahmad Muhammad, Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal
Beirut : Darul Ihya’ at-Turats al-‘Arabi 1414 H/ 1993M
Shihab, M.Quraish.,
Tafsir al-Misbah, Jakarta:
Lentera Hati, 2002
_________, Pengantin Al-Qur’an, Jakarta: Lentera Hati, 2007
Tafsir, Ahmad, Ilmu Pendidikan
Dalam Perspektif Islam, Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2000
Tanjung, Armaidi, Free Sex No! Nikah Yes!, Jakarta: Amzah, 2007
Tim Markaz al-Ilmi, Durus Kamadhaniyah, Saudi
Arabia: Yayasan al-Haramain, 1420
Umar Abdul Aziz, Abu “Bahaya Mabuk Cinta” Buletin
Jum’at, Padang:
Yayasan Dar El- Iman, Volume I, 2OO7
Warsono, Munawir Ahmad, Kamus Bahasa
Arab-Indonesia, Yogyakarta: AL-Munawwir,
1984
www. Muslim. Com
Zaini, Hasan, Tafsir Tematik Ayat-ayat Kalam, Tafsir
al-Maraghi, Jakarta:
Pedoman Ilmu Jaya, 1997
[1].
Abdul Fida’ Isma’il Ibnu
Katsir ad-Dimasyiqi, , Tafsir Ibnu Katsir, (terj) Bahrun Abu Bakar dan
Anwar Abu Bakar, judul asli: Tafsir al-Qur’an al-Karim ( Bandung: Sinar Baru
Algesindo 2004 ) h 295
[2] Ahmad Muhammad Syakir, Musnad
al-Imam Ahmad bin Hanbal juz 4 ( Beirut
: Darul Ihya’ at-Turats al- ‘Arabi 1414 H/ 1993M) hal 476
[3] Nama lengkap Imam al-Maraghi adalah Ahmad Musthafa Ibn Musthafa Ibn
Muhammad Ibn Abdul al-Mun’im al-Qadhi al-Maraghi. Beliau dilahirkan pada tahun
1300 H/ 1883 M di kota
al-Maraghah. Salah satu karya beliau yang cukup monumental adalah Tafsir
al-Maraghi. Tafsir ini menggunakan metode tafsir Tahlily. Mengenai tekhnik
atau sistematika penulisan tafsirnya telah beliau jelaskan dalam muqaddimah
Tafsir al-Maraghi. Lihat: Hasan Zaini, Tafsir Tematik Ayat-ayat Kalam Tafsir
al-Maraghi, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1997), cet I, h. 15.
[4] Al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, (Beirut: Dar al-Fikri,[t.th], jilid 18,
hal.173
[5]. Depdikbud, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), hal 643
[6] Manna’ Khalil Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu al-Qur’an
(terj) Aunur Rafiq El-Mazni, judul asli: Mabahits fiy Ulum al-Qur’an (Jakarta: Pustaka al-Kautsar,
2007) h 16
[7]. Ibid, h18
[8]. Depdikbud, Op.Cit hal 633
[9] Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir Kamus Bahasa Arab-Indonesia,
(Yokyakarta: AL-Munawwir, 1984) hal.1003
[10] Abdurrahman al-Mukaffi, Pacaran Dalam Kaca Mata Islam, (Jakarta: Media Da’wah,
2006), hal.35
[11] Abdul al-Hayy al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu’I, sebuah
pengantar, (terj) Suryan A. Jamrah, judul asli: al-Bidayah fi al-Tafsir
al-Maudhu’iy, ( Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994), cet I, hal.45-46
[12] http://www.syariahonline.com
[14] Abdurrahman al-Mukaffi, Op.Cit, h 49
[15] Ibid
[16] Abdurrahman al-Mukaffi, Op.Cit, h. 68
[17] Ahmad Muhammad Syakir, Musnad
al-Imam Ahmad bin Hanbal juz 4 ( Beirut
: Darul Ihya’ at-Turats al- ‘Arabi 1414 H/ 1993M) hal 476
[19] Ibid, dikutip dari kitab Nailul Authar, 9/321
[20] Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah Jilid
6, (terj) Moh, Thalib, judul Asli: Fiqh as-Sunnah , (Bandung: PT. Al-Ma’arif,
1996), h. 11
[21] Lihat surat Ali Imran: 64
[22] Abu ‘Abdillah Muhammad bin Isma’il al-Mughirah bin
Bardizbah al-Bukhari, Shahih Bukhari , juz III, Kitab Buyu’ h. 6 dan juz
VII, Kitab Dzabaih, h. 125
[23] Abu Daud Sulaiman bin al-Asy’as al-Azdi
as-Sijistani, Sunan Abu Daud, (Beirut:
Dar al-Fikr t.t, Kitab Adab h 259
[24] Yusuf Qardhawi, Halal Haram Dalam Islam, (terj) Wahid
Ahmadi, Jasiman, Khazim Abu Raqib dan Kamal Fauzi, judul asli al-Halal wal
Haram fil Islam, (Solo: Era Intermedia cet I 1421 H/2OOO M) h. 218
[25] Abu ‘Abdillah Muhammad bin Isma’il al-Mughirah bin Bardizbah
al-Bukhari, Op.Cit, juz II Kitab Jum’ah, h.
6
[26] Muhammad bin Abi Bakr bin Ayyub bin Sa'd al-Zar'i, al-Dimashqi
bergelar Abu Abdullah Syamsuddin atau lebih dikenal dengan nama Ibnu Qayyim
Al-Jauziyyah, Dilahirkan di Damaskus, Suriah pada tanggal 4 Februari
1292, dan meninggal
pada 23
September 1350)
adalah seorang Imam Sunni,
cendekiawan, dan ahli fiqh
yang hidup pada abad ke-13. Beliau adalah ahli fiqih bermazhab Hambali.
Disamping itu juga seorang ahli Tafsir, ahli hadits, penghafal Al-Quran, ahli
ilmu nahwu, ahli ushul, beliau juga seorang pakar mengenai cinta dengan buah
karya “ Raudhat al-Muhibbin wa Nuzhah al-Mustakin” (Taman
Orang-orang yang Jatuh Cinta dan pelipurlara bagi orang-orang yang sedang
memendam rindu)
[27] Tim Markaz al-Ilmi, Durus
Kamadhaniyah, (Saudi Arabia:
Yayasan al-Haramain, 1420), h. 101
[28] Abu Husain Muslim Bin
Hajjaj, Shahih Muslim, (Beirut:
Dar Ihya’ at-Turats al-‘Arabiy), t.t. h 2037
[29] Abu Husain Muslim Bin Hajjaj, Op.Cit, juz I, Kitab al-Haidh, h. 267 dan sunan Abu
Daud, juz IV, Kitab al-Hammam, h. 41
[30] Abu Umar Abdul Aziz, “Bahaya Mabuk Cinta” Buletin Jum’at, (Padang: Yayasan Dar El-
Iman, Volume I, 2OO7) h. 4
[31] Artikel www.muslim.or.id, Pacaran
Islami Ala Qurais Shihab, 18 Desember 2008
[32] Maktabah Syamilah, Shahih Muslim kitab Qadr no hadits 4801
[33] www. Muslim. Com
[36] Abdurrahman al-Mukaffi, Op. Cit, h 37
[37] Kumpul kebo adalah hubungan seks yang dilakukan berulang-ulang oleh
seorang laki-laki dan perempuan sebagaimana layaknya suami istri, namun tidak
diikat oleh akad nikah dalam sebuah pernikahan. Perbuatan ini dikatakan kumpul
kebo, karena pasangan laki-laki dan perempuan melakukan hubungan seks seperti
kerbau (binatang kerbau) yang dilakukan atas suka sama suka.
[38] Prembayun Miji Lestari, Ketika Harus Jatuh Cinta, (Solo:
Media Insani Press, 2007), cet II, h. 115
[39] Armaidi Tanjung , Op.Cit
h 56.
[40] Abu Umar Abdul Aziz, Op.Cit, h. 1
[41] Ibid
[42] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, (Bandung: PT. Remaja Rosda
Karya 2000) cet 3 h. 181
[43] Ibid
[44] Abu Husain Muslim Bin Hajjaj, Op.Cit, juz 2,Kitab az-Zakah,
h. 698, lihat Maktabah Syamilah,
Shahih Muslim, Kitab az-Zakah, no hadits 1674
[46] HR. Al-Bukhari no. 5096 [Kitabun Nikah] dan Mulim no.
97,98 [Kitab Adz-Dzikir])
[47] M. Quraish Shihab, Op.Cit, Volume 7, h. 458-459
[48] Abul Fida’ Isma’il Ibnu Katsir ad-Dimasyqi, Op.Cit, juz 3,
h. 55
[49] Abdul Malik bin Abdul Hakim Amrullah (Hamka), Tafsir al-Azhar,
(Surabaya: Yayasan Latimojong, 1981), juz 18, h. 205
[50] Yusuf Qaradhawi, Halal
Haram Dalam Islam, (terj) Tim Kuadran, judul asli al-Halal wal Haram fil
Islam, (Bandung:
Jabal cet I 2OO7 ) h. 157
[51] M. Quraish Shihab, Op.Cit, Volume 9, h. 323-327
[52] Ibnu
Qayyim al-Jauziyyah, Hukum Memandang Wanita, (ter) M. Syaifullah al-Aziz
Senali, judul asli: Hukmun Nazhari lin-Nisa’i, (Surabaya: Putra Pelajar, 2001), h. 14
[53] Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Jangan Dekati Zina, (terj) Tim
Darul Haq, judul asli: Wala Taqrabu az-Zina, (Jakarta: Darul Haq, 2000), h. 6
[54] Fadhel Ilahi, Zina Problematika dan Solusinya,, (terj)
Subhan Nur, judul asli: at-Tadabur al-Waqiyah min az-Zina fi al-Fiqh
al-Islami, (Jakarta:Qisthi
Press, 2005), cet ke 2, h. 280
[55] Ibid
[57] Ahmad Muhammad Syakir, Op.Cit, juz 6, h.354
[58] Ibid
[59] Al-Maraghi,Op.Cit, juz 18, h. 75
[60] Abu Umar Abdul Aziz, Op.Cit, h. 1
[61] Abu Hafsah Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq, Panduan Lengkap
Nikah Dari A Sampai Z, (terj) Ahmad Saikhu, judul asli: ‘Isyaratun
Nisaa’ Minal Alif ila Yaa’, (Bogor: Pustaka Ibnu Katsir, 2007), h. 129
[63] Ibid
[64] Ibid
[65] Abdurrahman al-Mukaffi, Op. Cit, h 37
[66] [66]Yusuf
Qaradhawi, Fatwa-fatwa Kontemporer, (terj) As’ad Yasin, judul asli: Hadyul
Islam Fatawi Mu’ashirah, (Jakarta: Gema Insani Press, 1999) jilid I, cet 6,
h. 557
[67] M. Quraish Shihab, Pengantin
Al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2007), hlm. 57-59
[70] Ahmad Muhammad Syakir, Op.Cit, juz 6, h.354
[71] Aby Husain Muslim Bin Hajjaj, Op.Cit, juz I, Kitab al-Haidh, h. 267 dan Sunan Abu
Daud, juz IV, Kitab al-Hammam, h. 41
[72] Abdul Fida’ Isma’il Ibnu Katsir ad-Dimasyiqi, Op.Cit, juz 3,
h. 350
[73]Yusuf Qaradhawi, Fatwa-fatwa Kontemporer, (terj) As’ad Yasin,
judul asli: Hadyul Islam Fatawi Mu’ashirah, (Jakarta: Gema Insani Press,
1999), cet 3, h. 409. al-Mandziri berkata dalam at-Targhib perawi-perawi
Tabrani adalah orang-orang terpercaya, peraw-perawi yang shahih, pendapat lain
yang mengatakan hadits ini diriwayatkan oleh Thabrani dalam Mu'jam Kabir
20/174/386 dan Rauyani dalam musnadnya 1283 dengan sanad hasan, lihat
Ash-Shohihah 1/447/226).
[75] Abu ‘Abdillah Muhammad bin Isma’il al-Mughirah bin Bardizbah
al-Bukhari, Op.Cit, juz 9 Kitab Ahkam, h.
99
[77] Adil Fathi Abdullah, 35 Pesan Nabi Kepada Muslimah, (terj)
Ghazali Mukri, judul asli: 35 Nashihah lil Fatayat fi Sinnil Murahaqah,
(Yokyakarta: Salma Pustaka, 2006), h. 2
[78] Abu ‘Abdillah Muhammad bin Isma’il al-Mughirah bin Bardizbah
al-Bukhari, Op.Cit, juz
III, Kitab Buyu’ h. 6 dan juz VII, Kitab Dzabaih, h. 125
[79] http://ulamasunnah.wordpress.com, Ibnu Qayyim
Al-Jauziah, Zadul Ma'ad Fi Hadyi Khairi Ibad Juz 4, (terj)
Ahmad Ridwan,Lc (Abu Fairuz Al-Medani), h.
265-274,
[80] Abdurrahman al-Mukaffi, Op.Cit, h 103
[81] Abu ‘Abdillah Muhammad bin Isma’il
al-Mughirah bin Bardizbah al-Bukhari,Op.Cit juz 7, Kitab Nikah, h. 3, dan Shahih
Muslim , juz 2, Kitab Nikah, h. 1018
[82] Maktabah Syamilah, Sunan at-Turmuzi, kitab Fadhailul Jihad
no Hadits 1579. hadits ini juga diriwayatkan oleh an-Nasai kitab jihad hadits
ke 12, Ibnu Majah kitab ‘Itqun hadits ke 3 dan Ahmad bin Hanbal 2/251,437
[83] Abu ‘Abdillah Muhammad bin Isma’il al-Mughirah bin Bardizbah
al-Bukhari,Op.Cit, Kitab Ahkam h. 87
Tidak ada komentar:
Posting Komentar